Senin, 13 Desember 2010

Kontribusi Para Pemikir Islam terhadap Perkembangan Ekonomi Klasik

BAB II
PEMBAHASAN

1. ABU YUSUF
A.Biografi Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim bin habib bin Khunais bin Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi Al-Bagdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di kufah pada tahun 113 h (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). dari nasib ibunya, ia masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah Saw, Sa’ad Al- Anshari. Keluarganya sendiri bukan berasal dari lingkungan berada. Namun demikian, sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi oleh suasana kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban islam, tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia islam dating silih berganti untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai bidang keilmuan.
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad atho bin as-saib Al-kufi, sulaiman bin Mahram Al-a’masy, hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu, ia juga menuntut ilmu kepada Abu Hanifah hingga yang terahir namanya disebut ia meninggal dunai. Selama tujuh belas tahun, Abu Yusuf tiada henti-hentinya belajar kepada pendiri madzhab Hanafi tersebut. Ia pun terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifah. Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan madzhab Hanafi.
Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasannya, Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya. Di antara tokoh besar yang menjadi muridnya adalah Muhammad bin Al-Hasan Al- Syaibani, Ahmad bin hambal, Yazid bin Harun Al-Wasithi, Al-Hasan bin Ziyad Al-lu’lui, dan yahya bin Adam Al-qarasy. Di sisi lain, sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, khalifah Dinasti Abbasiyah, harun Al- Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (qhadi al-qhadah).
Sekalipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan waktu untuk menulis. Beberapa karya tulisnya yang terpenting adalah al jawami’, ar-radd’ala syar al-auza’I, al-atsar, ikhtilaf abi hanifah wa ibn abi laila, Adab al-Qadhi, dan al-Kharaj.

B.Karya Abu Yusuf
Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat mamumental adalah KIitab al-Kharaj (buku tentang perpajakan). Kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf ini bukanlah kitab pertama yang membahas masalah al-Kharaj atau perpajakan. Para sejarahwan muslim sepakat bahwa orang pertama yang menulis kitab dengan mengangkat tema al-Kharaj adalah Mu’awiyah bin Ubaidillah bin Yasar (W. 170 H), seorang Yahudi yang memluk agama Islam dan menjadi sekertaris khalifah Abu Abdillah Muhammad al-Mahdi (158-169 H/ 755-785 M). namun sayangnya, karya pertama di bidang perpajakan dalm islam tersebut hilang ditelan zaman.
Penulusan kitab al-Kharaj versi Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan khalifah Harun alr-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan demikian, kitab al-Kharaj ini mempunyai orientasi birokratik karena itulis untuk merespon permintaan khalifah Harun ar-Rasyid yang ingin menjadikannya sebagi buku petunjuk administrative dalam rangka mengelola lembaga baitul mal dengan baik dan benar, sehingga Negara dapat hidup makmur dan rakyat tidak terdzalimi.
Sekalipun berjudul al-Kharaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung pembahasan tentangn al-Kharaj, melainkan juga meliputi berbagai sumber pendapatan Negara lainnya, seperti Ghanimah, Fai, Kharaj, ushr, jizyah, dan shadaqah, yang dilengkapi dengan cara-cara bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syari’ah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliyah (al-Qur’an dan Hadist) dan aqliyah (Rasional). Metode penulisan dengan mengombinasikan dalil-dalil naqliyah dengna dalil-dalil aqliyah ini menjadi pembeda antara kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dengan kitab-kitab al-Kharaj yang muncul pada periode berikutnya, terutam kitab al-Karaj karya Yahya bin Adam al-Qarasy yang mnggunakan metode penulisan berdasarkan dalil-dalil naqliah saja.
Penggunaan dalil-dalil aqliah, baik dalam kitab al-Kharaj maupun dalam kitabnya, hanya dilakukan Abu Yusuf pada kasus-kasus tertentu yang menurutnya tidak diatur didalam nash atau tidak terdapat hadist-hadist shahih yang dapat dijadikan pegangan. Dalam hal ini, ia menggunakan dalil-dalil aqliyah hanya dalam konteks untuk mewujudkan al-Mashlahah al-Ammah (kemaslahatan umum).

C.Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Dengan latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-Ra’yu, Abu Yusuf Cenderung memaparkan berbagai pemikiran Ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, hadist Nabi, atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang shalih. Landasan pemikirannya, seperti yang telah disinggung, adalah mewujudkan kemaslahatan umum. Pendekatan ini membuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keungan public. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadobsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban Negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber pembelanjaan untuk pembangunan jangka panjang sperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.

1.Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar bin Khattab, ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
Abu Yusuf menyatakan bahwa Negara bertanggungjawab untuk memenuhi pengadaan fasilitas infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek public, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh Negara.
Namun demikian, Abu Yusuf managaskan bahwa jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tetentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
Persepsi Abu Yusuf tentang pengadaan barang-barang public muncul dalam teori konvensional tentang keuangan public. Tori konvensional mengilustrasikan bahwa barang-barang social yang bersifat umum harus disediakan secara umum oleh Negara dan dibiayai oleh kebijakan anggaran. Akan tetapi, jika manfaat barang-barang public tersebut diinternalisasikan dan mengonsumsinya berlawanan dan mungkin menghalangi pihak yang lain dalam memanfaatkan proyek tersebut, maka biaya akan dibebankan secara langsung.2
Siddiqi membahas hal-hal ini bersamaan dengan penekanan Abu Yusuf atas pekerjaan umum terutama sarana irigasi dan jalan-jalan raya. Ia juga mendesak penguasa untuk mengambil tindakan-tindakan lain guna menjamin kemajuan pertanian.
Siddiqi mencatat bahwa komentar singkat Abu Yusuf mengenai hubungan antara penyediaan barang dan harganya tidak membahasnya cukup mendalam, dan nasehatnya kepada penguasa yang menentang pengawasan harga, tidak diiringi dengan pembahasan menyeluruh mengenai permasalahan tersebut.3
Dalam hal pertanian, lebih jauh Abu Yusuf cenderung menyetujui bila negara mengambil bagian dari hasil yang dilakukan oleh para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian yang digarap. Prinsip-prinsip yang jelas tentang pajak yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai ‘canons of taxation’. Banyak sudut dalam perpajakan yang menurut beliau akhirnya dijadikan sebagai prinsip yang harus dijalankan. Akan tetapi, Abu Yusuf menentang keras pajak pertanian. Ia menyarankan supaya petugas pajak diberi gaji. Tindakan mereka harus selalu diawasi untuk mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan seperti korupsi dan praktek penindasan.
Farid mengemukakan, bahwa Abu Yusuf adalah seorang yang tulus dan baik hati dan sungguh-sungguh menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Inilah bentuk simpati Abu Yususf dan keinginan yang tulus yang beliau coba sampaikan kepada para penguasa. Pemenuhan pelayanan publik, dalam cakupan inilah beliau mendesak para penguasa yang merupakan bagian dari titik tekan pemikirannya yaitu tanggung jawab negara. Pemikiran-pemikiran yang diilhami oleh semangat keislaman ini sangat dihargai Maududi. Jelasnya, kontribusi besar dalam menetukan kewajiban-kewajiban penguasa, status Baitul Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.

Teori Perpajakan
Dalam hal perpajakan Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya
Subjek utama Abu Yusuf adalah perpajakan dan tanggung jawab ekonomi dari Negara. Sumbanganya terletak pada pembuktian keunggulan pajak berimbang terhadap system pungutan tetap atas tanah, keduanya ditinjau dari segi pandangan dan keadilan. Dalam pembahasannya ia juga menunjuk pada lain-lain peraturan perpajakan, kemampuan untuk membayar, suatu pertimbangan untuk memudahkan para wajib pajak dalam menentukan waktu pungutan dan caranya serta pemusatan pengambilan keputusan dari administrasi pajak.


3.Mekanisme Harga
Berbeda dengan pemahaman saat itu yang berangapan bila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan sebaliknya, Abu Yusuf menyatakan, tidak ada batasan tetentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan,demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah. (Abu Yusuf, kitab al-kharaj Beirut: Dar al-Ma’rifah,1979, hlm.48 ).
Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga tidak bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan. Karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan produksi. Abu Yusuf menegaskan bahwa ada vareabel lain yang mempengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan secara rinci. Bisa jadi, vareabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar dalam suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis The Wealth Of Nation.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai vareabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobsevasinya terhadap perubahan penawaran uang. Namun pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.7
Abu Yusuf tercatat sebagi ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memerhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan 4. 4. 4.perubahan harga.
Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah. Dengan kata lain, pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memerhatikan kurva Demand. Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf.
Poin controversial dalam anallisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah penngendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadist Rasulullah SAW.
“Pada masa Rasulullah SAW; harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah SAW bersabda, tinggi rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bias mencampuri urusan dan ketetapanNya”.
Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah supply bahan makanan dan mereka menghindari control harga. Kecenderungan yang ada pada dalam pemikiran ekonomi islam adalah membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan praktek korup lainnya, dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.

2. PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH
A.Uang
Ibnu Taimiyah lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama besar mazhab Hambali. Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam tafsir, hadis, fiqih, matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang handal. Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang ekonomi yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.

1. Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, beliau menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapakan sebagai berikut :
Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas, (1) uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam, (2) komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp. 100.000,- yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama, dan (3) komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud), dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai sementara pihak lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan kesempatan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw. melarang jenis transaksi seperti ini.
2. Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut :
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui teori kuantitas uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan : MV = PT.
dimana M (Money) adalah jumlah uang beredar, V (Velocity) adalahkecepatan uang beredar, P (Price) adalah tingkat harga produk dan T (Trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M akan meningkat. Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.

3. Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai Fulus ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan Fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan Fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan Dirham semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan Fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga. Persoalan kelaparan ini diungkapkan Al-Maqrizi dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah sebagai berikut :
Ketahuilah, semoga Allah memberi taufiq kepadamu untuk mendengarkan kebenaran dan memberi ilham kepadamu nasehat makhluk, bahwa sudah jelas seperti yang telah lewat, rusaknya perkara adalah karena perncanaan yang buruk bukan karena naiknya harga-harga. Jikalau mereka yang dibebankan oleh Allah untuk mengatur perkara hamba mendapat taufiq lalu mengembalikan interaksi ekonomi kepada bentuk sebelumnya menggunakan emas saja dan mengembalikan harga-harga barang dan nilai pembayaran kepada dinar atau kepada apa yang terjadi setelah itu, yakni transaksi menggunakan perak yang dicetak, maka pada keadaan yang demikianlah pertolongan kepada umat, perbaikan persoalan-persoalan, dan kesadaran terhadap kerusakan yang sudah mencapai tahap kehancuran ini. Lebih jelas dari itu bahwa mata uang apabila dikembalikan pada bentuknya yang semula, dan orang yang mendapatkan uang dari pajak bumi, atau sewa bangunan, atau pegawai pemerintahan, atau pembayaran jasa, dia mendapatkannya dalam bentuk emas atau perak sesuai dengan apa dilihat oleh mereka yang mengurus persoalan public. Pada saat sekarang dengan beragamnya kondisi apabila diberlakukan emas dan perak, tentunya semua transaksi tidak ditemukan lagi penipuan sama sekali, karena semua harga yang berlaku diukur berdasarkan emas dan perak. Namun ada beberapa sebab yang menjadi harga menjdi naik, yaitu, pertama, rusknya cara pandang orang yang ditugaskan untuk memikirkan hal itu dan kebodohannya dalam mengatur persoalan. Ini penyebab utama kebanyakannya. Kedua, musibah yang menimpa sesuatu sehingga persediaan menjadi sedikit seperti yang terjadi pada daging sapi yang tertimpa kematian missal pada tahun 808, dan yang terjadi pada gula karena kurangnya tebu dan perasannya pada tahun 807 dan 808. dan ini hanya penyebab kecil dibandingkan sebab pertama.
Selanjutnya, Dirham juga mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di bawah cucu Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M) pemerintah menetapkan keputusan bahwa Fulus yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyatakan :
Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.
Beliau menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada di tangan masyarakat. Ketika pemerintah menyatakan tidak berlaku lagi atas mata yang dipegang masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai uang, maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat secara langsung akan terpangkas drastis karena terjadi penurunan nilai asetnya dengan adanya kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar daripada nilai intrinsiknya, dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Beliau menganggap bahwa perdagangan mata uang sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam masalah ini Ibnu Taimiyah mengungkapkan :
Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkanya dengan mata uang yang baik, dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang (seignorage). Saran beliau cukup beralasan, karena setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil daripada nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi, ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti masyarakat menjadi semakin miskin. Sungguh memprihatinkan, dan tidak ada artinya ketika pendapatan penguasa/pemerintah meningkat hasil menikmati keuntungan (selisih antara nilai nominal dan nilai intrinsik mata uang Fulus), namun di sisi lain pendapatan riil masyarakat secara umum semakin berkurang. Penguasa juga harus mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk mencari keuntungan apapun agar kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi. Akibatnya, peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil. Ungkapan Al-Maqrizi berikut ini akan memperjelas kondisi tersebut :
Ketika pada masa Mahmud bin Ali, penanggung jawab raja Al-Dzahir Barquq—semoga Allah merahmatinya—memperbanyak uang tembaga. Pencetakan uang tembaga terus berlanjut beberapa tahun sedangkan orang asing membawa dirham-dirham yang ada di Mesir ke negeri mereka, dan penduduk negeri meleburnya untuk dimanfaatkan sehingga berkurang dan bahkan hamper punah (habis) dan uang tembaga beredar secara luas sehingga seluruh barang jualan dihitung dengannya.
Dia (Al-Dzahir Barquq) membangun gedung percetakan uang tembaga di Alexandria sehingga uang tembaga semakin banyak di tangan orang-orang dan beredar luas karena itu menjadi mata uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang karena dua sebab: pertama, sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk dijadikan perhiasan.
Fenomena yang diamati, dianalisis yang kemudian dinyatakan secara tertulis oleh Ibnu Taimiyah di atas dan disempurnakan oleh Al-Maqrizi, ternyata sekitar 1.000 tahun kemudian dengan situasi dan kondisi sedikit berbeda fenomena sejenis terjadi di Amerika (1782-1834). Pada waktu itu Amerika mempertahankan kurs mata uang emas dan perak sebesar 1 : 15, meskipun nilai mata uang emas di negara-negara Eropa menguat berkisar pada kurs 1 : 15,5 hingga 1 : 16,6. Akibatnya, mata uang emas Amerika mengalir ke Eropa, dan sebaliknya mata uang perak membanjiri Amerika. Fenomena itulah yang diamati oleh Thomas Gresham (1857M) dan dia nyatakan dengan bahasanya bahwa, “uang dengan kualitas rendah menendang ke luar uang berkualitas baik”. Pernyataan itu sangat dimungkinkan terinspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah dan Al-Maqrizi mengingat karya kedua pemikir Islam tersebut hingga kini masih dapat dibaca. Namun pernyataan itulah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai Hukum Gresham yang sangat terkenal dan sering dikutip hampir semua buku teks ekonomi konvensional, dan tanpa pernah menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah jauh sebelumnya pernah menyatakan hal serupa.
Lebih jauh beliau menyarankan agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara (baitul mal). Saran beliau tersebut setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut, pembayaran gaji yang diambilkan dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan penawaran uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan negara lainnya.
4. IBNU KHOLDUN
Jika kita berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun.
Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Khaldun dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan sejumlah tugas besar serta jabatan politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya antara Maghrib dan
Andalusia, kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur memberikan hikmah yang cukup besar. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah saw. bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah.
Lelaki yang lahir diTunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.
Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes,
Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara.
SETELAH keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-’ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar.
Kitab al-i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German danAustria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern.
Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of
Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.
Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan ke
lima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.
Ada beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan kondisi.
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran. Sebagaimana dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.”
Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.

BAB III
KESIMPULAN

Tokoh-tokoh ekonomi yang terkenal pada masa klasik diantaranya :
1. Abu Yusuf mempunyai beberapa pemikiran:
a) bahwa tugas utama pemerintah adalah serta menjamin kesejahteraan masyarakat
b) teori perpajakan
c) mekanisme harga
2. Ibnu taimiyah mempunyai pemikiran tentang teori uang
3. Ibnu Kholdun mempunyai banyak pemikiran tentang ekonomi sehingga beliau diberi julukan sebagai bapak ekonomi islam.

1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casinos & Gaming - MapYRO
    Find 용인 출장안마 your way around the casino, find 경기도 출장샵 where everything is located with 강원도 출장안마 live entertainment, 영천 출장마사지 and explore what makes Harrah's Cherokee Casinos & Gaming one 서울특별 출장안마 of

    BalasHapus